Tuhan, Jika...
Siang itu seperti
biasanya, aku duduk di samping jendela menatap layar komputerku. Tidak terasa
mimpi itu sudah setahun lamanya. Terbersit keraguan dalam diriku. Apakah aku
berjalan di jalan yang tepat? Adam ada benarnya pikirku saat ini. Tersisa rasa
bersalah karena aku pergi tanpa berpamitan. Sudah 5 tahun sejak peristiwa itu,
tapi mengapa baru sekarang aku tersadarkan? Apakah Tuhan menuntunku pada
sesuatu?
Aku sadar bahwa saat
bersama Adam aku bebas menjadi diriku, bebas mengutarakan apa yang aku ingin tanpa
pernah terpikir apa yang aku ucap atau tanyakan mungkin akan menyakitinya. Tapi
aku baru menyadarinya setelah sekian lama aku disibukkan dengan hal-hal yang
membuat aku lupa tentang siapa diriku sebenarnya. Ingin rasanya Aku berbicara
dengan Adam sekali lagi, meminta maaf menyelesaikan semuanya.
Hari itu aku bergegas
pulang karena akan hujan. Benar saja, hujan dengan cepat menghampiri. Aku lalu
menunggu di halte. Derasnya hujan membuatku terpaku di sana. Tiba-tiba aku
kepikiran sesuatu. Entahlah, mungkin ini ide yang buruk. Mencari nomor telepon
Adam, berbicara dengannya, dan meminta maaf. Aku tahu, jika aku bertanya pada
teman-temanku, mereka tidak akan percaya aku akan melakukannya, apa lagi kalau
bukan karena gengsi. Entahlah, mungkin ini salah satu caraku berdamai dengan
keadaan.
Aku mencoba mencari tahu
nomor telepon Adam, tanpa mengetahui dimana keberadaan dan bagaimana kabarnya
sekarang. Aku menghubungi sahabat lamanya, Ira. Tidak perlu waktu lama, Ira
memberikan nomor telepon Adam. Misi pertama berhasil. Tapi, rasanya aku tidak
sanggup untuk menghubunginya. Gengsi sudah pasti, entahlah. Rasanya campur
aduk.
Tiga hari, seminggu,
bahkan hampir satu bulan aku membiarkan nomor telepon Adam mengendap di telepon
genggamku. Tiba-tiba ada notifikasi dari Ira. Aku terkejut, Ira tahu aku tidak
pernah menghubungi Adam. Ira lalu meneleponku.
“Tara, gue gak tau kenapa lo
tiba-tiba minta nomor Adam terus Lo gak ngehubungin dia, tapi itu bukan urusan
gue. Yang penting, Lo datang ke alamat yang gue kirim sekarang ya! Jangan
banyak tanya, pokoknya datang aja.”
“Tapi….sekarang? serius? Ini soal
apa sih?” Tanyaku, heran.
“Udah, Lo jangan banyak tanya. Otw
aja sekarang.” Ira lalu menutup telepon.
Aku
menyetujui permintaan Ira dengan datang ke lokasi yang Ira kirimkan. Ternyata
bukan Ira yang ada di sana, tapi…
“Taraaaa!” sahut Adam, melihatku yang
sudah berbalik arah.
Aku lalu membalikkan badan,
melambaikan tangan, dan menghampirinya.
“Hai, Adam! Kamu di sini? Udah
lama?”
“Iya, lumayan sih. Tapi aku lagi
nungguin Ira.”
“Haa? Ira? Aku juga lagi nungguin
Ira.” Sepertinya ada sesuatu yang direncanakan Ira.
“Hmm, aneh. Kenapa ya Ira suruh
datang ke sini?” Adam heran.
“Iya, hehe. Kenapa ya? Kamu apa
kabar, btw?”
“Baik, eh duduk dulu dong, masa
ngobrolnya sambil berdiri. Kamu apa kabar?” Aku dan Adam lalu duduk berhadapan.
“Baik, kamu tinggal di sini?”
“Engga, aku ga tinggal di sini
lagi. Ceritanya panjang. Kamu gimana? Kerjaan lancar?”
“Lancar sih. Terus kamu tinggal
dimana?”
“Sih? Kenapa? Udah mulai ga nyaman?
di Bengkulu.” Adam mencoba menebakku.
“Haaa? Hahaha gitu deh” Benar saja
dia masih bisa menebakku.
“Di Bengkulu? Sama orang tua kamu?”
Tanyaku heran.
“Engga, sama tunangan aku dan
keluarganya.”
“Oh, kamu udah tunangan?” Aku
terkejut.
“Iya, 3 bulan lagi aku nikah.”
“Selamat ya, semoga lancar.”
“Iya, makasih. Kamu gimana?”
“Gimana? Ga gimana-gimana sih,
masih gini aja. Btw orang tua kamu dimana sekarang?”
“Orang tua aku udah pisah. Aku juga
gak tau Ayah aku ada dimana. Tapi Ibu aku masih di sini. Dulu waktu kuliah di
Yogyakarta, aku ketemu sama tunangan aku yang sekarang. Dia yang bantu aku
melalui masa-masa sulit itu. Ayah waktu itu udah gak ngebiayain aku lagi.
Akhirnya aku berhenti kuliah. Aku coba kerja serabutan dan ketemu sama Ayah
tunangan aku yang sekarang. Aku jadi ngerasa punya rumah lagi deh.”
Aku sempat termenung
sejenak, memikirkan jika saja waktu itu aku menyusulnya ke Yogyakarta.
“Maaf ya, aku gak tau. Pasti sulit
ya buat kamu.” Ujarku.
“Gapapa, kan bukan salah kamu. Kamu
hebat, udah bisa banggain orang tua kamu. Selamat ya, semoga kamu bahagia.”
“Makasih dam. Btw, aku mau minta maaf
karena ga pamit dan pergi gitu aja waktu itu.”
“Engga, kita pergi untuk mimpi kita
masing-masing, Tar. Kamu juga pasti udah fokus ke pendidikan kamu. Itu bukan
salah siapa-siapa, Tar.”
“Tapi aku gak enak sama kamu, aku gak
jadi nyusul ke Jogja. Aku malah gak dengerin kata hati aku, kayak yang pernah
kamu bilang.”
“Engga Tar, kamu gak salah. Pilihan
kamu udah tepat. Toh kamu udah sukseskan sekarang.”
“Makasih ya, kamu udah pernah
percaya sama aku. Meskipun waktu itu aku juga bingung sama pilihan aku.”
“Siapa bilang aku percaya sama
kamu, musyrik yang ada.” Candanya.
Saat
itu aku tertawa terbahak-bahak dengannya. Kami bernostalgia mengenang masa-masa
singkat SMA. Adam masih ingat bagaimana kami selalu beradu argumen, dan dia
tidak pernah lupa kalimat-kalimat yang aku lontarkan kepadanya pada saat itu.
Remaja itu aku bahagia.
Adam membantuku mengenal “Siapa Aku”. Berbicara dengan Adam membuatku ingat
identitasku dahulu.
“Sekarang Aku ngerasa jauh banget
dari diri Aku yang dulu.” Ujarku.
“Yaa, namanya orang beranjak dewasa
pasti bakalan berubah dong. Kalau masih sama, berarti kamu masih SMA.” Adam
meledekku sambil tertawa.
Ira tak kunjung datang.
Sepertinya ini cuma taktiknya agar Aku dan Adam dapat berbicara. Aku bahagia
mengetahui Adam kini baik-baik saja. Meskipun aku juga iba, karena ayahnya juga
pergi meninggalkannya dan keluarganya. Tapi syukurlah, Tuhan mempertemukan Ia
dengan tunangannya. Pasti berat jika Adam tidak punya siapa-siapa kala itu.
Aku tahu ini konyol,
rasanya aku dihantui oleh karmaku sendiri karena tidak berpamitan dengannya
pada saat itu. Lega rasanya bisa berbicara dengannya, mengetahui bahwa semuanya
baik-baik saja. Aku tidak pernah menyesal bertemu dengannya, meskipun singkat. Apa
yang pernah kami rencanakan sebelumnya, tak ada satupun yang terwujud. Namun Tuhan
punya rencana lain untuk jalan kami masing-masing.
Adam adalah seseorang
yang aku kagumi. Darinya aku belajar banyak hal. Salah satunya tentang pilihan.
Ia tidak pernah ragu mengikuti kata hatinya. Meskipun dia tidak tahu apa yang
akan dihadapinya nanti. Dari keyakinan itu, orang-orang baik selalu menemukannya.
“Tuhan jika aku bersungguh-sungguh dengan pilihanku, izinkan aku untuk bertahan.”.
The End.
0 Response to "Tuhan, Jika..."
Post a Comment