Tuhan, Jika...
Ada sebuah ungkapan yang
mengatakan bahwa “Orang-orang yang hadir akan menjadi anugerah terindah atau
pelajaran berharga dalam hidupmu”. Ungkapan ini yang membuatku yakin bahwa
tidak ada pertemuan yang sia-sia. Bahkan jika suatu saat ada orang yang pergi, setidaknya
aku sudah siap, setidaknya.
Aku teringat akan suatu malam. Sebenarnya
bukan malamnya yang ku ingat. Tapi orang itu, dengan keyakinannya akan sesuatu
yang ada pada diriku. Hanya saja saat itu aku yang tidak yakin. Pikirku, bumbu-bumbu
percakapan hanya menambah dilema yang sudah ada.
“Kalau
kamu gak suka disana, ya kamu jangan kesana. Kamu kejar
cita-cita kamu!” Kata orang itu dengan yakinnya.
“Kan udah aku bilang, aku bukannya gak suka. Cuma bukan passion aku aja. Lagian pengumuman semua tes yang aku ikutin juga belum keluar.” Jelasku.
“Kamu
ingat gak selama ini kamu bilang apa?
Gak ada yang bisa ngalahin kamu buat kejar cita-cita kamu.
Masa cuma karena ini kemauan orang
tua kamu, kamu nyerah gitu aja?”
Malam itu tambah dingin. Rasanya
aku tidak ingin meneruskan percakapan. Dia benar-benar gila dan seenaknya. Malam
itu aku hanya berpikir orang itu sok tahu.
Sok mengerti tentang hidupku.
Orang itu Adam, anak kelas 12
IPS. Orang yang mempunyai pemikiran bebas dan liar. Orang yang bahagia
menurutku. Bebas melakukan apapun yang ia suka. Tidak ada yang melarang, tak
pula orangtua dan keluarganya. Gayanya selaw
dan agak berandalan. Benar-benar tidak mempedulikan apapun yang orang katakan.
Kharisma itu yang terpancar dari dirinya. Aku gak heran fansnya juga banyak di sekolah.
Sebenarnya Adam bukan seperti
yang kalian pikirkan (ya, mungkin itu
yang terlintas dipikiran kalian). Adam pernah bercerita bahwa orangtuanya
memberikan kebebasan kepadanya dalam menentukan pilihan dan setiap pilihan yang
dia ambil harus bisa dipertanggungjawabkan.
Sedangkan aku, bertolak belakang
dengannya. Aku tidak pernah bisa menjadi diriku yang seutuhnya. Tidak sebebas
Adam dalam menentukan pilihanku. Dibentuk menjadi apa yang orangtuaku inginkan.
Aku adalah orang dengan imajinasi liar nan bebas namun berada dalam garis
perbatasan. Pemberontak yang selalu mengalah dengan keadaan. Selalu punya
perspektif beda, dimanapun aku berada.
Adam memberikanku pandangan akan
banyak hal. Adam juga merubah cara pandangku akan banyak hal. Aku ingat, Dia
tidak pernah cemburu. Ketika aku bertanya mengapa, Ia malah balik bertanya, Mengapa harus cemburu? Kalau kamu tau rumahmu,
mengapa kamu harus khawatir? Kalau tidak tahu berarti kamu lupa alamatmu atau
memang itu bukan rumahmu.
Aku mengenal Adam 4 bulan yang
lalu. Sebenarnya aku baru pindah sekolah. Sore itu aku berpas-pasan dengannya.
Aku tersenyum dan diapun balik tersenyum. Beberapa hari berlalu, aku terbangun
dari mimpi disiang bolong. Aku mendapatkan sebuah pesan di Line. Kali ini bukan dari official
account. Ya, pesan itu dari Adam.
Suatu malam, Adam menanyakan
kemana aku akan melanjutkan kuliah.
“Kamu
mau kuliah dimana?” Tanya Adam.
“Aku
mau kuliah di Yogyakarta.” Jawabku.
“Kenapa?”
“Sepertinya
tinggal di Jogja enak. Makanannya juga murah-murah, aku pasti nyaman disana. Kamu
gimana?” Aku bertanya balik.
“Aku
mau kuliah di Bandung.”
“Kenapa?”
Tanyaku.
“Sepertinya
hidup disana enak. Aku pasti nyaman disana.” Tirunya.
Banyak orang yang mengatakan
bahwa Adam adalah orang yang berengsek.
Entahlah, aku tidak menemukan itu
pada dirinya. Terlebih ketika aku mengenalnya. Temannya bilang, hidup Adam
berubah semenjak mengenalku.
Belakangan ini aku sudah terbiasa
menceritakan mimpi-mimpiku kepada Adam. Adam adalah satu-satunya orang yang
selalu berdebat denganku. Apapun kami perdebatkan, politik, seni, cita-cita,
hingga sebuah guci. Itulah mengapa Adam marah pada malam itu, karena dia begitu
yakin padaku, sedangkan aku tidak.
Tak terasa, masa-masa indah
SMA-ku akan segera berakhir. Hari itu pengumuman jalur undangan keluar. Aku tidak
berhasil kuliah di Jogja, Adampun tidak lolos di Bandung. Tapi aku tidak
berhenti sampai disitu. Aku mengikuti tes-tes lainnya.
Nama Adam selalu menjadi paling
atas dalam Log telepon genggamku.
Malam itu dia bercerita, bahwa dia akan kuliah di Yogyakarta. Ayahnya
memberikan sebuah undangan dari sebuah Universitas Swasta disana. Benar saja,
dia mendaftar di universitas itu. Aku sangat senang Adam mendaftar ke
Yogyakarta dan bukan ke Bandung.
Garis tangan mulai terungkap.
Adam berhasil lulus disalah satu universitas swasta di Yogyakarta. Ya, kota yang aku idam-idamkan menjadi
tempat untuk mengerjakan mimpi-mimpiku. Sayangnya, Aku tidak berhasil menyusul
kesana.
To be continued........
0 Response to "Tuhan, Jika..."
Post a Comment